KEUANGAN DAERAH

5:22 PM

1. PENGERTIAN KEUANGAN DAERAH
Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 379) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Dengan demikian keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang. Keuangan daerah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
2. Sumber Keuangan Daerah
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu penerimaan yang diperoleh Daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah).
b. Dana Perimbangan
Merupakan sumber Pendapatan Daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana Perimbangan merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi (Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin, 2007 : 173-174).
Dana Perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, serta Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (Ahmad Yani, 2004 : 15). Lebih jelasnya Dana Perimbangan terdiri dari :
1.      Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
2.Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
3.       Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas nasional (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
c. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Sedangkan Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas.




2. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN SEKTOR PUBLIK DAN SEKTOR KOMERSIL
Perbedaan sifat dan karakteristik sektor publik dengan sektor komersial dapat dilihat dengan membandingkan beberapa hal yakni tujuan organisasi, sumber pembiayaan, pertanggung jawaban, struktur organisasi, karakteristik anggaran, dan akuntansi keuangan.
Tujuan sektor publik adalah memberi pelayanan kepada masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Misalnya
pelayanan dalam bidang pendidikan, keamanan, kesehatan masyarakat, penegakan hukum, transportasi publik, penyediaan barang kebutuhan masyarakat dan sebagainya. Sementara itu, sektor komersial bertujuan mencari laba untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham.
Sektor publik memperoleh biaya dari pajak, retribusi, laba BUMN dan BUMD, pinjaman luar negeri, obligasi, sumbangan, dana abadi, hibah, dan lainnya. Sedangkan sektor komersial memperoleh biaya dari modal pemilik dan laba yang ditahan, utang bank, obligasi, dan penerbitan saham baru.
Sektor publik dan sektor komersial memiliki persamaan, dimana keduanya adalah bagian yang saling berhubungan dari sistem ekonomi negara, dan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan organisasi. Keduanya juga mengahadapi masalah yang sama yaitu kelangkaan sumber daya sehingga harus menggunakannya secara efektif dan efisien. Selain itu, keduanya memiliki manajemen yang sama, produk yang sama, dan sama-sama terikat pada aturan yang berlaku.
perkembangan konsep dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mulai dari:
1. Masa penjajahan (Belanda dan Jepang),
2. Masa Orde Lama yaitu; a) masa revolusi kemerdekaan (1945 – 1949), b) masa demokrasi liberal (1950 – 1959), c) masa demokrasi terpimpin (1959 – 1965).
3. Masa Orde Baru (1965 – 1998),
4. Masa Reformasi (1999 – sekarang).
Masa Penjajahan
Masa Penjajahan Belanda
Sejarah perpolitikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari masa dimana Indoensia mengalami penjajahan, terutama di masa penjajahan Belanda. Karena itu sistem pemerintahan pun tidak bisa terlepas dari sejarah dimana Indonesia mengalami masa penjajahan tersebut. Pada masa penjajahan Belanda, sistem pemerintahan di Indonesia telah dikenal dan diakui adanya sistem pemerintahan daerah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya undang-undang ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan reglement op het beleid der regering van nederlandsch indie (stb 1885/2), undang-undang ini sebenarnya bukan mengenai desentralisasi akan tetapi lebih kepada sistem desentralisasi, tetapi dalam undang-undang ini berisi tentang dekonsentrasi yang merupakan salah satu bentuk desentralisasi itu. Disamping itu, pada masa itu telah dikenal wilayah-wilayah administratif, misalnya Jawa yang secara hierarkis dikenal dengan gewest (yang kemudian disebut residentie), afdeeling district, dan onderdistrict.
Pada tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
decentralisatie wet (Staastblaad No. 329
tahun 1903) yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan
(gewest) yang mempunyai sistem keuangan sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada sebuah raad atau dewan di masing-masing daerah. Decentralisatie wet ini kemudian diperkuat dengan
decentralisatiebesluit (S 137/1905) dan
locale radenordonannti (S 181/1905) yang menjadi undang-undang terbentuknya
locale ressort dan locale raad. Akan tetapi pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan, dan bahkan anggota raad sebagiannya diangkat, dan sebagian lagi merupakan pejabat pemerintah. dan beberapa anggota yang dipilih. Hanya raad ditingkat gementee yang dipilih. Dewan daerah atau locale raad memang berhak menentukan peraturan setempat (locale verondeningen) yang menyangkut hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengawasan terhadap pemerintah setempat dilaksanakan sepenuhnya oleh gouveneu general
(gubernur jenderal) Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Yusoff dan Yusron, 2007; 100-101).
Kemudian pada tahun 1922 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang – undang baru yang bernama wet op de bestuurhevormin (S.216/1922). Dengan ketentuan perundang-undangan yang baru ini maka dibentuklah sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale resort. Pembentukan sejumlah daerah dilakukan dengan dikeluarkannya
ordonantie seperti ordonantie pembentukan provincie Jawa-Madura, provincie West Java, regentschap Batavia. Sementara pulau-pulau di luar Jawa Madura dibentuk melalui
groepmeneenschap ordonant. Sehari-hari pemerintahan dijalankan oleh gouveneur untuk provincie, regent di regenschap, dan burgermeester di gemeente. (Yusoff dan Yusron, 2007; 102)
Selain pembentukan pemerintahan yang baru tersebut, terdapat pula pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat daerah setempat yang oleh banyak kalangan disebut zelfbestuurende lanschappen, yakni persekutuan masyarakat adat yang olah pemerintah kolonial Belanda tetap diakuai keberadaanya, seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, nagori di Rantau Kuatan (Riau), ratin dan penghulu di Siak, subak di Bali, marga di Sumatera Selatan, lembang di Toraja dan lain – lain di beberapa pulau di daerah jajahan Hindia Belanda. Untuk desa di Jawa diatur dengan inlandsche gemmente-ordinantie (S.83/1906) atau IGO, dan untuk masyarakat adat di luar Jawa diatu dengan inlandsche gemmente-ordinantie buitengewesten (IS. 506/1931) atau IGOB. Untuk desa-desa di luar Jawa kemudian diatur lebih lanjut degan desa ordinantie (S.356/1941) yang kemudian tidak terlaksana karena terjadinya Perang Dunia II (The Liang Gie, 1993; 18 -19).
Masa Penjajahan Jepang
Berakhirnya desentralisasi dan otonomi daerah masa penjajahan Belanda ditandai dengan tergantinya regim kolonialisme Hindia Belanda oleh Jepang.hal ini dapat dijelaskan melalui berbagai perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda oleh pemerintahan Jepang dengan perubahan yang mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum masuknya Jepang terdiri atas Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen dan Controleur, kasunan, Bupati, Wedana dan Asisten Wedana, kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial yang dibagi kedlam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu:
a. Sumatera dibawah komando Panglima angkatan darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi;
b. Jawa dan Madura berada dibawah komando panglima angkatan darat XVI yang berkedudukan di Jakarta;
c. Daerah lainnya berada dibawah komando panglima angkatan laut yang berkedudukan di Makassar.
Hirarki komando utama adalah
Gunseireiken/Saiko Sikkan (panglima besar yang sejajar dengan gubernur jenderal) dan yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut Osamu Seirei dan Gunseiken (pembesar pemerintahan). Di wilayah komando Jawa – Madura Gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa kedalam beberapa Syuu (dikepalai Syuutyookan) kemudian Syuu dibagi kedalam beberapa Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken dibagi kedalam beberapa
Si (yang dikepalai Sityoo). Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan parlemen. Struktur pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer Jepang di Indonesia yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007; 105).
Masa Orde Lama
Masa Revolusi Kemerdekaan (1945 – 1949).
Salah satu masa yang paling penting untuk dicatat dalam perkembangan politik dan pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia adalah masa revolusi kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Urgensinya adalah bahwa pada masa ini pemerintah Indonesia belum dapat menjalankan secara penuh otoritasnya dalam mengatur dan menjalankan sistem pemerintahannya, karena pengakuan kedaulatan secara penuh baru diperoleh melalui Perjanjian Meja Bundar pada tahun 1949, dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bekas jajahan Hindia Belanda. Yang paling penting saat itu adalah bagaimana memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi walaupun pada masa ini pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dalam rangka memperkuat NKRI, tetapi justru yang paling pertma dipikirkan adalah bagimana mengatur pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI. Itulah sebabnya sehingga undang-undang pertama yang dibuat pada saat itu setelah UUD 1945 adalah UU No. 1 tahun 1945 yang mengatur pemerintahan daerah yang hanya berisi 6 pasal dengan tanpa adanya penjelasan.
UU No. 1 tahun 1945 menetapkan adanya 3 jenis daerah otonom (tampa menyebut otoritas masing-masing daerah), yaitu 1) keresidenan; 2) kabupaten; dan 3) kota berotonomi. Sedangkan provinsi yang berjumlah 8 berdasarkan penetapan Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) hanya diarahkan berbentuk daerah administratif tanpa otonomi. Dalam perkembangannya, khusus wilayah provinsi Sumatera berubah menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 8 tahun 1947.Menurut ketentuan menteri dalam negeri, komite nasional daerah menjadi badan perwakilan rakyat daerah dan bersama-sama dengan kepala daerah menjalankan pemerintahan daerah.
Undang – Undang kedua setelah merdeka yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia dalah UU No. 22 tahun 1948. Undang-undang ini menganut sistem otonomi material, artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas) apa saja yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah, di luar daripada itu menjadi otoritas pemerintah pusat. dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu; (i) Provinsi atau daerah tingkat I, (ii) kabupaten dan kota besar sebagai daerah tingkat II; dan (iii) desa atau kota kecil (negeri, marga, lembang) sebagai daerah tingkat III.
Masa Demokrasi Liberal (1950 – 1959).
Babak kedua dalam perkembanngan sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah adalah masa demokrasi liberal. Pada masa ini sistem poltik yang dianut oleh Indonesia adalah sistem yang memberi haluan yang besar kepada kekuatan politik, diakui keberadaanya dan turut menentukan kebijakan. Indikasi sistem politik leiberal ditandai oleh beberapa hal diantaranya adalah; (i) dianutnya sistem multi partai, (ii) pengakuan dan kebebasan kepada semua kelompok idiologis memebentuk partai atau kekuatan politik tertentu, dan (iii) dianutnya sistem parlementer dengan pengakuan adanya kelompok oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan.
Pada masa tersebut kembali pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengalami penyesuaian dari undang-undang sebelumnya. Tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini dianut istilah baru dalam sistem pemerintahan daerah yaitu apa yang disebut dengan daerah swantara sebagai suatu kategorisasi dalam pemerintahan daerah. Dalam UU No. 1 tahun 1957 ini yang disebut dengan daerag swantara adalah daerah yang berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian pada masa ini dikenal juga tiga tingkatan pemerintahan daerah yaitu; (i) daerah swantara tingkat I, (ii) daerah swantara tingkat II, dan (iii) derah swantara tingkat III. Adapun wilayah administratif daerah berdasarkan sebutan swantara bertingkat disesuaikan dengan tingkatan dalam UU No. 22/1948).
Perbedaan utama antara UU No. 1 tahun 1957 dengan UU No. 22 tahun 1948 adalah pada subtansi pemberian otonomi kepada daerah. UU. No. 22 tahun 1948 memberikan otonomi materil kepada daerah, artinya otnomi yang dirinci sedemikian rupa sehingga jelas kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah dan selebihnya adalah urusan pemerintah pusat. Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1957 tidak merinci secara mendalam apa saja yang menjadi kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah, tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini sudah dikenal otonomi yang nyatadan seluas-luasnya.
Masa Demokrasi Terpimpin (1960 – 1965)
Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959, sebagai tanda berakhirnya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya kembali UUD 945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensil dengan kewenangan besar ada ditangan presiden. Dengan kewengan yang dipegangnya, presiden Soekarno kemudian menetapkan undang-undang operasional pemerintahan menjadi revolusioner dengan berbagai simbol-simbol perjuangan seperti manifesto politik. Untuk mencapai tujuan politiknya, Soekarno melakukan konsolidasi secara internal melalui penyesuaian-penyesuaian struktur pemerintahan dari pusat sampai daerah. Dalam konteks konsolidasi tersebut Soekarno kemuadian menerbitkan dua peraturan yaitu Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan penetapan Presiden No. 5 tahun 1960.
Salah satu yang mendapatkan perhatian dari Presiden Soekarno setelah memegang teraju pemerintahan adalah mereposisi hubungan pusat dan daerah, yakni dengan mencabut UU No. 1 tahun 1957 dan menetapkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan No. 5 tahun 1960. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa UU No. 1 tahun 1957 dianggap produk dari sistem yang liberal dan kenyataanya tidak sesuai dengan kehidupan politik yang berkembang dalam konteks demokrasi terpimpin (Affan Gaffar et.al, 2002; 103).
Penetapan presiden No. 6 tahun 1959 mengatur tugas dan fungsi kepala derah serta Badan Pemeriksa Harian (BPH), sedangkan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960 mengatur tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat daerah Gotong Royong (DPRGR). Berdasarkan Penetapan Presiden no. 6 tahun 1959, kepala daerah diberi status pegawai negara dan pengangkatannya ditunjuk oleh presiden. Dengan demikian maka kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRGR melainkan kepada Presiden melalui menteri dalam negeri. Sementara itu tugas dan fungsi DPRDR adalah bersama-sama dengan kepala daerah menetapkan peraturan daerah. Kedua penetapan presiden tersebut masih menganut tiga tingkatan pemerintahan daerah, masing-masing: (i) daerah tingkat I, (ii) daerah tingkat II, dan (iii) daerah tingkat III.
Masa Orde Baru & Reformasi
Otonomi Daerah Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat
Otonomi Daerah Masa Reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu ,
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanyasendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD
Desentralisasi Pasca Reformasi
Pasca reformasi 1998, Indonesia sering disebut-sebut masih berada dalam masa transisi demokrasi. Sebuah masa perubahan dari rezim otoritarian menuju sebuah rezim baru yang mungkin berujung pada konsolidasi demokrasi atau malah rezim orotitarian baru yang lebih kejam dari sebelumnya (O’Donnell dan Schmitter). Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan demokrasi dalam masa yang sering disebut sebagai masa transisi ini, pendapat yang berkembang luas kemudian adalah berkutat pada bagaimana membentuk tipe-tipe pemerintahan yang tepat untuk “mengakhiri masa transisi” tersebut.

Salah satu bentuk perubahan pola pemerintahan adalah dimuncukannya desentralisasi untuk mendorong otonomi daerah. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah. Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.
Sejak era reformasi, kegiatan pembangunan di Indonesia menerapkan model desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah, secara terbatas, dengan tetap menerapkan prinsip sentralisasi. Kebijakan tersebut diambil agar dapat mengakomodasi komitmen untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan untuk menutup kemungkinan terjadinya disintegrasi.
Desentralisasi, kaitannya dengan pembangunan kelembagaan pemerintahan menuju demokrasi, tentunya harus lebih dapat dilihat secara lebih luas. Bahwa cakupan dan desain otonomi lokal bukan merupakan isu teknis pemerintahan melainkan ciri-ciri dari adanya persaingan yang sengit antara berbagai kepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang kongkret. Dimana dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan hanya merupakan masalah teknis pemerintahan, melainkan juga persaingan kekuasaan.
Secara common sense, berbicara mengenai desentralisasi, yang terbayang di kepala kita adalah berbicara mengenai bagaimana sumber daya-sumber daya yang ada di pusat dan daerah dapat dialokasikan dengan baik, mewujudkan sebuah good governance, dan membuat kebijakan-kebijakan daerah yang lebih tidak terpusat atau dengan kata lain lebih deemokratis. Namun, desentralisasi merupakan kajian utama dari neoinstitusionalisme. Dimana seperti yang dijelaskan Vedi Hadiz dalam tulisannya bahwa neoinstitusionalisme merupakan aliran politik pembangunan yang mendasarkan asumsi-asumsinya pada teori ekonomi neoliberal.
Sebanyak 205 daerah otonomi baru yang sudah terbentuk saat ini akan terus bertambah. Bahkan,saat ini sudah ada 181 usulan pemekaran darah baru yang diajukan ke Kemendagri. Ini menunjukkan banyaknya kepentingan politik di balik permohonan pemekaran, padahal pemekaran yang sekarang berjalan sudah sarat dengan masalah. Seperti yang dijelaskan berikut.
Pemekaran dan Pembengkakan APBN
Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam. Aliran dana inilah yang akan ditransfer kepada pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah baru berdasarkan kriteria dan formula tertentu.
Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Hal tersebut menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, sehingga secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.
Dari 205 daerah pemekaran yang sudah ada saat ini, sudah terdapat sekitar 8.000 orang anggota DPRD yang harus dibayar tiap bulan. Bayangkan saja legislatif sebanyak itu harus digaji jutaan tiap bulan, kalikan angkanya untuk melihat belanja gaji legislatif pertahun. Belum lagi dana dan tunjangan lain.
Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Ini tentunya merupakan jumlah yang tidak sedikit.
Pada 2003, sebanyak 22 kabupaten/kota baru sebagai hasil pemekaran sepanjang 2002 telah menerima DAU sebesar Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban terhadap APBN bertambah lagi dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.
Adapun pada 2010, dana pemekaran yang dikeluarkan pemerintah pusat mencapai Rp47,9 triliun bagi 205 daerah yang baru dimekarkan. Jumlah dana yang digelontorkan tersebut masih ditambah anggaran dari dana alokasi khusus (DAK) yang dikeluarkan bagi beberapa daerah pemekaran untuk membiayai infrastruktur.
Uniknya, gelontoran dana triliunan tersebut tidak diikuti peningkatan pelayanan publik. Bahkan, sekitar 30% daerah pemekaran masih masuk kategori daerah tertinggal dan harus mendapat pembinaan.
Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Dana Reboisasi. Salah satu jenis dari DAK Non DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar. Jumlah ini terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar.
Terlihat jelas bahwa setiap ada daerah pemekaran, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah pemekaran pemerintah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.
Pemekaran dan Persoalan Wilayah
Fenomena pemekaran daerah yang berkembang saat ini berbeda dengan pemekaran daerah sebelumnya yang dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut memang secara nyata menunjukkan perkembangan. Sebagai contoh, Depok yang sebelumnya merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Bogor, berubah dengan cepat menjadi daerah perkotaan akibat pesatnya pembangunan daerah tetangganya yaitu propinsi DKI Jakarta. Fenomena perkembangan wilayah perkotaan seperti di atas merupakan gejala umum hampir di seluruh kota kota di dunia.
Kecenderungan laju pemekaran daerah saat ini perlu dukungan sistem kendali yang andal karena dikawatirkan dapat menjadi faktor pemicu disintegrasi. Pemekaran daerah dalam kerangka konsep otonomi tidak dapat dilepaskan dari esensi dan prinsip desentralisasi. Menurut Simon (1996), prinsip desentralisasi mensyaratkan adanya dukungan pembiayaan yang lebih besar dibanding sistem sentralisasi. Di samping itu, dalam sistem desentralisasi diperlukan sistem kendali dari pemerintah pusat yang dilakukan secara ketat. Dwiyanto(2003) menjelaskan berbagai kelemahan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan hasil observasi pada awal implementasinya di Indonesia.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pemekaran daerah akan menghadapi masalah bagaimana menetapkan garis batas antar dua sistem wilayah. Menurut Haggett [3] batas territory antar Negara di dunia dapat merupakan garis batas daerah aliran sungai (DAS), garis median yang membagi permukaan sungai dan danau maupun laut dan, dapat merupakan garis semu berdasarkan koordinat lintang dan bujur.
Berdasarkan hasil evaluasi Depdagri tahun 2005 ditemukan 79% daerah pemekaran belum memiliki batas wilayah yang jelas. Hal ini berarti bahwa potensi konflik keruangan akibat garis batas wilayah yang belum jelas antar daerah otonom di Indonesia relatif tinggi. Daerah daerah otonom tersebut sebagian besar tersebar pada propinsi propinsi yang memiliki wilayah paling luas dengan kepadatan penduduk rendah seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Dengan asumsi pola pembagian daerah otonom mengikuti model segi enam hexagon dari Christaller yang berarti setiap daerah otonom secara rata rata memiliki enam daerah tetangga, berdasarkan perkiraan jumlah 460 kabupaten/kota maka masing masing daerah otonom memerlukan kerjasama dengan enam tetangganya atau secara keseluruhan menghasilkan 2760 bentuk kerjasama. Kerjasama tersebut di atas untuk menangani satu jenis sumber konflik keruangan misalnya garis batas pengelolaan wilayah DAS. Menurut model Hipotetika dari Haggett (2001) sumber konflik keruangan dapat terbentuk dari 12 sumber konflik. Dengan demikian jumlah konflik keruangan yang potensial terjadi di Indonesia dalam era otonomi daerah adalah minimal sebanyak 2760 dari satu sumber konflik.
Pengapusan Daerah Otonomi, Akankah?
Dalam UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 6 disebutkan bahwa (1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. (2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga jelas, kita semua menunggu kerja pemerintah untuk membuat pedoman evaluasi dan menerapkannya untuk mengevaluasi efektifitas daerah yang dimekarkan. Jika memang daerah yang dievaluasi dinilai gagal, maka pemerintah harus tegas untuk menghapus daerah otonomi tersebut.
Penghapusan ini tentu berimplikasi panjang, bukan hanya persoalan pengaturan keuangan, namun juga aparatur negara, infrastruktur, keruangan, dan lainnya. Belum lagi pertarungan kepentingan politik. Jadi penghapusan daerah otonomi yang gagal pun penuh dengan potensi masalah

Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2.      Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganyasendiri.
Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan dilaksanakannyaotonomi daerah adalah :
1. mencegah pemusatan kekuasaan.
2. terciptanya pemerintahan yang efesien.
3. partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Tujuan utama otonomi daerah adalah :
1. kesetaraan politik ( political equality ).
2. Tanggung jawab daerah ( local accountability ).
3. Kesadaran daerah ( local responsiveness )
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Berdasarkan ide hakiki yang terkandung dalam konsep otonomi, maka Sarundajang (2002) juga menegaskan tujuan pemberian otonomi kepada daerah meliputi 4 aspek sebagai berikut :
1. Dari segi politik adalah mengikutsertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional;
2. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan;
3. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui upaya pemberdayaan masyarakat untuk mandiri;
Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi daerah adalah :
1. untuk terciptanya efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2. sebagai sarana pendidikan politik.
3. sebagai persiapan karier politik.
4. stabilitas politik.
5. kesetaraan politik.
6. akuntabilitas politik.
D.DAMPAK OTONOMI DAERAH
A.Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
B.Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1) Korupsi Pengadaan Barang Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
YANG BAIK)
Good governance à tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian. Indikator pemerintahan yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat dalam aspek produktifitas maupun dalam daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan indikator rasa aman, tenang dan bahagia serta sense of nationality yang baik.
Prinsip-prinsip Good Governance.
Partisipasi (Participation) à Semua warga berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Penegakan Hukum (Rule of Law) à Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakkannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis.
Karakter dalam menegakkan rule of law:
Supremasi hukum (the supremacy of law);
Kepastian hukum (legal certainty);
Hukum yang responsif;
Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminasi;
Independensi peradilan.
3.      Transparansi
Salah satu yang menjadi persoalan bangsa di akhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rejim kekuasaannya. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan.
Aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan. Setidaknya ada 8 aspek yaitu:
1 Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
2 Kekayaan pejabat publik
3 Pemberian penghargaan
4 Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5 Kesehatan
6 Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
7 Keamanan dan ketertiban
8 Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat
4. Responsif (Responsiveness)
Pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat.
5. Orientasi Kesepakatan (Consencus Orientation)
Pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama.
6. Keadilan (Equity)
Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan
7. Efektifitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
Agar pemerintahan efektif dan efisisen, maka para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat, secara rasional dan terukur.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka, setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
8. Visi Strategis (Syrategic Vision)
Pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat.
Langkah-langkah perwujudan Good Governance
Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
Kemandirian Lembaga Peradilan
Aparatur Pemerintahan yang Profesional dan Penuh Integritas
Masyarakat Madani (Civil Society) yang Kuat dan Partisipatif
Penguatan Upaya Otonomi Daerah

TIGA PILAR GOOD GOVERNANCE
Tiga pilar good governance adalah pertama, pemerintah berperan dalam mengarahkan, memfasilitasi kegiatan pembangunan. Selanjutnya pemerintah juga memiliki peran memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan.
Kedua, swasta berperan sebagai pelaku utama dalam pembangunan, menjadikan saha sektor non pertanian sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah, pelaku utama dalam menciptakan lapangan kerja, dan kontributor utama penerimaan pemerintah dan daerah.
Ketiga, masyarakat berperan sebagai pemeran utama (bukan berpartisipasi) dalam proses pembangunan, perlu pengembangan dan penguatan kelembagaan agar mampu mandiri dan membangun jaringan dengan berbagai pihak dalam melakukan fungsi produksi dan fungsi konsumsinya, serta perlunya pemberdayaan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produksinya.
GOOD GOVERNANCE DALAM OTONOMI DAERAH
Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Penegakan Good Government adalah hal yang harus menjadi dasar terbentuknya pemeritahan yang baik bagi setiap daerah maupun dalam lingkup yang lebih besar yaitu Negara, maka dari itu alangkah besarnya system structural mempengaruhi baik tidaknya sebuah system pemerintahan itu, apakah dapat mensejahterakan rakyat atau tidak.
Pro dan kontra terhadap keputusan-keputusan otonomi daerah bukan sekedar hal biasa yang menjadi salah satu problem dari setiap Negara demokrasi sehingga menimbulkan kecenderungan ketidak seimbangan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat oleh sebab itu pilar-pilar untuk mewujudkan Good Government harus dilaksanakan dengan baik agar tidak berdampak tumbangnya kepercayaan rakyat terhadap system demokrasi di Negara ini, maka dari itu hal-hal yang berdampak hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah seperti permasalahan Hukum harus di tegakan setegak tegaknya.



PERUBAHAN STRUKTUR ORGANISASI
Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara cermat dan hati-hati.
Perubahan struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum GG
Struktur bersifat :
1.  Birokratik,
2.  Multilevel
3.  Disorganisasi dengan manajemen
4.  Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
Sesudah GG
Struktur bersifat :
1.  Nonbirokratik, sedikit aturan
2.  Lebih sedikit level
3.  Manajemen berfungsi baik
4.  Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
Sebelum GG
Sistem :
1.  Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi terbatas pada eksekutif
3.  Pelatihan manajemen hanyapada karyawan senior
Sesudah GG
Sistem :
1.  Tergantung pada sistem informasi kinerja
2.  Distribusi informasi luas,
3.  Memberikan pelatihan kepada karyawan yang membutuhkan
Sebelum GG
Budaya Organisasi:
1.  Orientasi ke dalam
2.  Tersentralisasi
3.  Lambat dalam pengambilan keputusan
4.  Realistis-idiologi
5.  Kurang berani mengambil keputusan
Sesudah GG
Budaya Organisasi :
1.  Orientasi ke luar
2.  Memberdayakan sumber daya
3.  Pengambilan keputusan cepat
4.  Terbuka dan berintegrasi
5.  Berani mengambil risiko
Dalam rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1. Kesadaran yangtinggi terhadap tingkat urgensi
2. Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3. Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4. Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5. Memberikan delegasi wewenang dengan efektif
6. Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan
7. Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
najemen Perubahan
PARADIGMA DAN STRATEGI 5C
Pemerintah Daerah harus dikelola dengan baik, dengan menerapkan asas fundamental transparansi dan akuntabilitas. Setiap Pemerintah Daerah memiliki Visi dan Misi. Untuk mewujudkan Visi dan melaksanakan Misi digunakan paradigma baru dan strategi baru dalam manajemen pemerintah daerah. Paradigma baru adalah Pemerintah Daerah yang bersemangat entrepreneurial, bernuansa kompetitif, mengacu pada hasil dan kebutuhan pelanggan, bertindak mirip perusahaan yang antisipatif, yang didesentralisasikan dan berorientasi pasar. Strategi baru yang disebut 5C, yaitu strategi Core (inti), Consequences (konsekuensi), Customer (pelanggan), Control (pengawasan), dan Culture (budaya).
            Strategi Core (inti), merupakan strategi yang menghapuskan fungsi-fungsi yang tidak lagi memberikan kontribusi pada sasaran ini dengan melepaskan, menjual atau mengalihkannya ketingkat pemerintahan yang berbeda. Strategi ini membantu menjaga pemerintah agar tetap focus pada yang penting bagi warganegara saat ini dan memisahkan fungsi-fungsi yang secara fundamental memiliki tujuan berbeda kedalam organisasi yang juga berbeda-beda.
            Strategi Consequences (konsekuensi),pendekatan yang ditawarkan dalam strategi konsekuensi meliputi : manajemen perusahaan, kompetensi teratur, manajemen kinerja.
            Strategi Customer (pelanggan), yaitu menempatkan pelanggan sebagai pengarah., strategi ini mempunyai pilihan-pilihan : pilihan pelanggan upaya yang dilakukan memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk memilih penyedia jasa. Strategi ini memaksa organisasi pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap keinginan pelanggan, memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk memanfaatkan sumber daya dan membawa sesuai pilihan.
            Strategi Control (pengawasan), tawaran pendekatan yang digunakan meliputi : pemberdayaan organisasi dan upaya yang dilakukan adalah dengan menghapuskan banyaknya peraturan dan berbagai control yang dipegang oleh badan-badan pemerintahan, pemberdayaan pegawai dengan upaya yang dilakukan adalah melakukan pengurangan control manajemen hirarkis dalam organisasi serta mendorong wewenang turun kepada pegawai lini pertama, serta pemberdayaan masyarakat dengan cara memindahkan birokrasi kepada masyarakat.
            Startegi Culture (budaya), upaya yang dilakukan adalah mengubah budaya dengan jalan menciptakan pengalaman baru, langkah yang ditempuh adalah menempatkan pegawai pada pengalaman baru yang menentang kebiasaan mereka dengan harapan dapat mendorong perubahan perilaku sehingga menghasilkan perilau yang baru dan baik, strategi budaya ini menentukan budaya organisasi pemerintahan.
           

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

like this yahh